Rabu, 11 Mei 2011

Daulah Bani Umayyah I



Nama “Daulah Umayyah” berasal dari “Umayyah ibn Abdi Syams ibn Abdi Manaf”, yaitu salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliyah dan kakek buyut dari Muawiyyah[1]. Jika dilihat berdasarkan silsilah, Bani Umayyah adalah saudara dari Bani Abdul Muthalib.
 Saat kekhalifahan Ali bin Abi Thalib berakhir tampuk pemerintahan digantikan oleh Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Tidak berapa lama Hasan bin Ali bin Abi Thalib memerintah tampuk pemerintahan diserahkan kepada Muawiyyah bin Abi Sufyan. Pada saat itulah zaman Khulafaur Rasyidin berakhir dan dimulailah Daulah Bani Umayyah. Berdasarkan kejadian tersebut dapat kita ketahui bahwa perintis Daulah Bani Umayyah adalah Muawiyyah bin Abu Sufyan. Bani Umayyah berperan sebagai pemimpin selama 90 tahun dengan 14 kali pergantian pemimpin. Di antara 15 pemimpin tersebut hanya empat orang yang dianggap cakap dalam mengatur tata pemerintahan.

2.2.1 Biografi Singkat Khalifah-khalifah Daulah Umayyah I
Muawiyyah adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang memiliki sifat yang tegas, adil, santun dan sabar. Beliau juga adalah seorang sahabat yang memiliki pemahaman agama yang luas, dan sangat pintar dalam berdiploma, selain itu pada masa Rasulullah beliau adalah pencatat wahyu Rasulullah saw. Walaupun beliau mengganti sistem khilafah menjadi monarki, tapi beliau adalah salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga oleh Allah. Beliau adalah salah seorang sahabat penulis wahyu Rasulullah dan meriwayatkan sedikitnya 163 hadits[2]. Baliau wafat pada tahun 60H/679M setelah memerintah selama 20 tahun.
Yazid bin Muawiyyah adalah seorang yang dibesarkan di lingkungan yang baik dengan tata kata yang masih murni, penuh kearifan dan sopan santun, sehingga Yazid bin Muawiyyah terbentuk mejadi seseorang yang sopan santun, pemberani dan fasih bertutur kata, tapi beliau bukanlah sorang yang cakap dalam mengurus masalah pemerintahan.
Muwiyyah II atau Muawiyyah bin Yazid adalah seorang pemimpin yang ahli dalam ibadah, tapi tidak ahli dalam mengurus pemerintahan, karena ketidakcakapannya itulah beliau hanya memrintah selama empat puluh hari. Marwan bin Hakam adalah lapisan pertama dari kalangan tabi’in yang banyak meriwayatkan hadits dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan yang lainnya.
Abdul Malik adalah seorang yang berilmu luas, ahli fikih, dan termasuk seorang ulama di Madinah sebelum beliau diangkat menjadi pemimpin. Kepribadiannya adalah seorang yang bijaksana, berhati baja, pandai dan cerdik dalam mengurus masalah pemerintahan. Dan Walid bin Abdul Malik adalah seorang yang penyantun terhadap orang fakir miskin.
Ibu Umar bin Abdul Azis adalah Laela binti Ashim, yaitu cucu dari Umar bin Khattab, sehingga tidak heran jika banyak dari sifat Umar bin Abdul Azis sama seperti kakeknya, yaitu Umar bin Khattab. Kepribadian yang dimiliki oleh Umar bin Abdul Azis di antaranya adalah sopan santun, adil, tegas, bijaksana dan takwa kepada Allah SWT. Di samping itu Umar bin Abdul Aziz adalah seorang imam dalam masalah-masalah ijtihad dan dianggap sebagai khalifah kelima oleh kebanyakan ulama, sedangkan kepribadiannya mirip dengan kepribadian Umar bin Khattab.

Perubahan yang pertama kali dilakukan oleh Muawiyyah bin Abi Sufyan adalah memindahkan pusat sistem pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Semula pemimpin wilayah hanya dibagi menjadi dua bagian yaitu pemimpin pusat (khalifah) dan pemimpin wilayah, tapi Muawiyyah meletakkan satu posisi di atas amiir, yaitu Gubernur Jenderal (Amiir Al-Umaraa) yang membawahi beberapa Amiir atau Wali sebagai penguasa wilayah. Selain itu, pada masa Muawiyyah jabatan khusus seorang hakim (Qadhi) sudah menjadi pofesi spesialis[3].
Muawiyyyah menerima jabatan sebagai pemimpin yang diberikan oleh Hasan bin Ali bin Abi Thalib dengan menyepakati sebuah perjanjian. Perjanjian tersebut berisi tentang pemimpin selanjutnya harus berdasarkan musyawarah bersama dan melanjutkan sistem khilafah, tapi ternyata  Muawiyyah melanggar perjanjian tersebut dengan diangkatnya Yazid bin Muawiyyah. Secara tidak langsung, Muawiyyah  memutuskan sistem khilafah dan menggantinya dengan sistem monarki seperti negara Persia dan Bizantium.
Pada saat pemerintahan Yazid bin Muawiyyah tidak banyak terjadi perubahan karena terjadi banyak peristiwa dan pemberontakan. Peristiwa yang paling dikenal pada masa ini adalah peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib dan keluarganya.
Setelah peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib muncullah pertistiwa-peristiwa yang lain seperti perang karbala yang dilakukan oleh golongan syi’ah dan pemberontakan di Madinah dan Makkah yang dipimpin oleh Abdullah bin Zubeir, tapi menurut pendapat lain pada saat Muawiyyah II mengundurkan jabatan kepemimpinannya terdapat kekosongan jabatan,sehingga para petinggi kerajaan bingung memilih antara Marwan bin Hakam yang sudah tua dan berpengalaman atau …. Yang masih sangat muda untuk dipilih sebagai pemimpin. Saat kekosongan itulah Abdullah bin Zubeir mengambil kesempatan untuk menyatakan diri sebagai khalifah dan disetujui oleh masyarakat makkah dan madinah.  Hal tersebutlah yang menjadi alasan pendapat bahwa Abdullah bin Zubeir lah pemimpin yang hak.
Setelah pemerintahan Yazid bin Muawiyyah pemerintahan Bani Umayyah mengalami kekacauan akibat pemberontakan-pemberontakan yang muncul dan ketidakcakapan pemimpin yang berkuasa dalam hal pemerintahan. Kekacauan ini berlangsung hingga tampuk kepemimpinan dipegang oleh Abdul Malik bin Marwan.
Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, sistem pemerintahan yang kacau balau diatasi dengan cara membagi tata pengaturan pemerintahan menjadi empat, yaitu : a) diwan al-Kharaj (departemen perpajakan tanah), b) diwan al-Khatam (departemen perancang ordonansi pemerintah), c) diwan ar-Rasaa’il (departemen surat-menyurat), d) diwan al-Mustagallat (departemen perpajakan umum). Khalifah Abdul Malik juga membentuk Mahkamah Tinggi yang bertugas mengadili para pejabat yang menyeleweng atau bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat[4].
Abdul Malik bin Marwan adalah pemimpin yang sangat berjasa karena beliaulah yang menertibkan kondisi dalam negeri, sehingga kepemimpinan sesudahnya, yaitu masa Walid bin Abdul Malik berada dalam kondisi yang tentram, makmur dan tertib sehingga tidak terjadi banyak pemberontakan.
Pada saat pemerintahan Umar bin Abdul Azis wali-wali yang sebelumnya dipilih oleh Sulaiman bin Abdul Malik diganti dengan orang-orang yang cakap dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya. Beliau juga memusatkan pembangunannya di dalam wilayah kekuasaan saja.

Perubahan yang terasa dalam segi ekonomi dimulai saat pemerintahan Abdul Malik bin Marwan.  Jasa yang telah dilakukan beliau adalah mencetak uang sendiri dengan tulisan dan kata-kata bahasa arab dan mengganti mata uang Persia dan Bizantium yang digunakan sebelumnya.
Pada masa Walid bin Abdul Malik jasa yang beliau berikan adalah dimulainya sistem gaji tetap dari negara untuk setiap pekerja[5].
 Pada masa Umar bin Abdul Azis penerapan system zakat dan pembagiannya diterapkan dengan sebenar-benarnya. Sehingga hasil yang diperoleh adalah tidak ditemukan satu orang pun yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat) di masanya.

Pada masa Bani Umayyah tingkatan sosial dibagi menjadi beberapa kelompok masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut dibedakan berdasarkan agama yaitu Muslim dan non-Muslim, setelah itu dibagi lagi berdasarkan suku, yaitu masyarakat Muslim Arab dan Muslim non-Arab (mawali). Masyarakat non-Muslim juga dibedakan menjadi dua, yaitu masyarakat non-Muslim yang dilindungi (ahl al-adzimat) dan masyarakat non-Muslim yang dijamin keamanannya (al musta’min).
Selain itu pada masa Muawiyyah mulai diterapkan Arabisme kepada seluruh penduduk daerah Islam. Arabisme adalah suatu gerakan penerapan seluruh kebudayaan Arab termasuk berbahasa arab dan pada masa pemerintahan Abdul Malik bahasa arab sudah mulai diterapkan di bagian administrasi sistem  pemerintahan.

Ekspansi militer yang pernah dilakukan pada masa khalifah Utsman dan Ali dilanjutkan kembali oleh Dinasti Umayyah ini. Selain memperluas wilayah kekuasaan Muawiyyah juga berusaha untuk menertibkan angkatan bersenjata.
Dalam masa pemerintahannya Muawiyah melakukan beberapa pengembangan dan perluasan daerah Islam seperti yang telah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin,yaitu ke daerah timur,bizantium dan daerah Afrika utara.
Pada masa Khulafaur Rasyidin perluasan di daerah Timur sudah sampai di Khurasan kemudian perluasannya dilanjutkan pada masa Muawiyyah dengan mengutus Abdullah bin Sawwar Al Abdi ke negeri Qaiqan sebanyak dua kali juga mengutus Mahlab bin Abu Shufrah ke negeri di sekitar sungai Sind hingga negeri Bannah dan Lahore(India), selain itu Afghanistan juga berhasil dikuasai hingga ke daerah Kabul. Selain itu, Muawiyyah juga berhasil menaklukan Tunisia dan Kartago di Afrika Utara.
Muawiyyah juga mengirim angkatan lautnya untuk menyerang ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Faktor-faktor Muawiyyah ingin memperluas kekuasaan Islam ke Bizantium :
a)   Muawiyyah ingin menumpas keganasan orang-orang Bizantium yang sering merampok di wilayah Islam,
b)   Bizantium merupakan pusat ajaran Kristen Ortodoks yang menyebarkan ajarannya ke daerah Timur, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan Islam,
c)    Bizantium memiliki kekayaan yang melimpah
Pada masa Marwan bin Hakam beliau tidak berhasil melakukan perluasan dimanapun. Begitu juga pada masa Abdul Malik bin Marwan beliau juga tidak terfokus dalam hal ekspansi karena banyaknya pemberontakan yang terjadi di dalam negeri sehingga beliau memusatkan usahanya untuk urusan perbaikan-perbaikan dalam negeri, tapi selama masa pemerintahannya beliau berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Fergana, Samarkand hingga ke India (Bulikhistan, Sind, Punjab hingga Maltan).
Pada masa Walid bin Abdul Malik inilah Islam berhasil mengembangkan sayap pemerintahannya hingga ke ibukota Spanyol, Kordova dengan mengutus Thariq bin Ziyad. Sebelum pasukan Thariq menyerang Kordova, pasukannya berhasil menguasai Aljazair dan Maroko setelah itu mereka melanjutkan perjalanan ke benua Eropa. Pasukan Thariq bin Ziyad melewati selat yang memisahkan antara Maroko dan benua Eropa, kemudian mendarat di suatu tempat, tempat tersebutlah yang kemudian disebut  Jabal Thariq (Giblartar).
Pada masa Umar bin Abdul Aziz serangan perluasan dilanjutkan ke Prancis. Pasukan penyerangan dipimpin oleh Abdurrahman bin Abdullah Al-Ghafiqi . hasil dari penyerangan tersebut berupa penundukan kota Bordeau, Poitiers, dan kota Tours.  

Pemimpin-pemimpin masa Bani Umayyah adalah orang-orang yang cakap dalam hal akademik, sehingga kemajuan dalam dimensi ilmu pengetahuan tidak akan luput dari masa Bani Umayyah.
Pendataan kumpulan hadits-hadits shahih kemudian membukukannya terjadi pada masa Umar bin Abdul Azis yang dilakukan oleh Imam Al-Zuhri (guru Imam Malik). Pada masa Umar bin Abdul Azis juga terjadi peristiwa penerjemahan buku-buku yang berbahasa Persia dan Romawi ke dalam Bahasa Arab.

Dinasti Bani Umayyah adalah dinasti yang sangat mempedulikan masalah pembangunan, oleh sebab itu tidak heran lagi jika banyak sekali peninggalan dari dinasti Bani Umayyah ini.
Pada masa Muawiyyah bin Abu Sufyan beliau mendirikan tempat pos dan untuk tempat-tempat tertentu disediakan kuda beserta perlengkapannya di sepanjang jalan. Selain itu, Muawiyyah berhasil mendirikan markas militer di kota Kairun, Afrika Utara.
Pada masa Yazid bin Muawiyyah banyak pemberontakan yang terjadi. Pada masa Pada masa Walid bin Abdul Malik banyak sekali jasa yang beliau berikan dalam hal ini, seperti pembangunan panti-panti untuk orang cacat, gedung-gedung pemerintahan, jalan raya, dan masjid-masjid yang megah.


[1] Depag, Sejarah Kebudayaan Islam, hal 97
[2] Al Usairi, Sejarah Islam hal 180
[3] Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal 44
[4] Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, hal 100
[5] Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...