Oleh Wanty Handayani
Manusia punya rencana, Alloh pula yang menentukan. Sebuah kalimat yang sudah tidak asing dan sering kita dengar, sebagai motifasi agar kita tidak larut ke dalam pesimisme. Ketika rencana mulai dirancang, usaha untuk menuju ke arahnya mulai berjalan, tiba-tiba Alloh Subhanallohu Wa Ta'ala berkehendak lain, rasa frustasi dan putus asa datang menyergap. Cinta yang telah dibangun sekian lama dalam maghligai rumah tangga yang suci harus kandas, hancur berkeping dihempas badai.
Rasa sayang dan cinta yang dulu tumbuh subur di dalam hati, seketika berubah benci, terhapus oleh rasa kecewa. Lembar demi lembar kertas diary terisi oleh cerita-cerita yang menggambarkan kekecewaan seorang wanita kepada seorang laki-laki yang teramat disanjungnya. "Aku tidak pernah menyangka, kenapa dirimu tega menghianati cinta kita. Padahal semua yang aku miliki telah aku curahkan. Lalu mengapa hanya untuk mengetes kesetiaanku dirimu tega melakukan perselingkuhan itu? Dengan perempuan itu, perempuan yang aku kenal baik. Ya Alloh...cobaan apa lagi yang akan kau berikan di saat aku berusaha mengenalkan ajaran-Mu kepada anak dan suamiku? Ya Sallam... rasanya aku tidak sanggup menerimanya, terlalu berat cobaan ini. Aku tidak bisa memaafkannya, memaafkan suami dan perempuan itu...Mereka bukan wanita dan laki-laki yang baik, suamiku menghianatiku dan perempuan itu menghianati suaminya. Aku benci mereka....Aku benci mereka...!" Begitulah salah satu cerita dalam lembaran buku diary seorang istri yang merasa kecewa akan perlakuan suaminya.
Namun ketika sang suami memohon maaf dengan berurai air mata dan mengatasnamakan perbuatannya karena khilaf dan seribu pembelaan atas kesalahan itu, rasa iba pun hadir. Rasa cinta yang masih ada, melupakan semua nestapa yang ada. Ditambah kesungguhan sang suami yang benar-benar menyesali perbuatannya. Cinta suci yang masih tersisa telah meluluhkan kebencian dan rasa sakit yang ada di dalam hat sang istrii. Buah hati yang yang masih memerlukan banyak perhatian dan bimbingan juga salah satu mengapa cinta yang hampir porak-poranda dapat bersatulagi di dalam ikatan suci "perkawinan".
Memang kebebasan bergaul yang kebabalasan sudah menjadi adat yang mendarah daging dalam sebagian kaum muslimin. Adalah satu musibah besar yang dapat berimplikasi sangat buruk dalam kehidupan dan keluarga. Karena itulah Islam memberikan batasan pergaulan antara lawan jenis dengan demikian indah dan kuatnya, sehingga kemungkinan muncul perselingkuhan, pacaran dengan cinta monyet serta perzinahan dapat dicegah dan diputus sejak awal. Ditambah lagi dengan hukuman keras bagi pezina baik yang belum pernah menikah maupun yang pernah menikah. Sayang masyarakat enggan menerapkannya sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan seperti ini.
Jika seorang suami atau istri masih mencintai pasangannya, mengapa dia harus melakukan perselingkunghan ini? Laki-laki/wanita yang baik dan normal, pastinya tidak akan berselingkuh dengan lelaki/wanita lain, sebab ia memiliki rasa malu. Bila ia telah selingkuh dengan lelaki/wanita lain, tentunya karena tidak adanya rasa malu dan kemungkinan berselingkuh lagi sangat besar sekali. Bagaimana tidak? Ia tidak puas dengan suami/istrinyanya yang ada dan telah merasakan keindahan semu selingkuhnya dengan WIL (Wanita Idaman lain)/PIL (Pria Idaman Lain). Padahal ancaman Alloh sangatlah pedih. Waiyyadzu billah
Alloh subhanallohu wa ta'ala berfirman:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٢﴾
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ ﴿٣﴾
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An Nuur : 2 – 3)
Tentang firman-Nya yang artinya : "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera" dijelaskan Ibnu Katsir bahwa didalam ayat ini terdapat hukum terhadap seorang pezina. Para ulama kemudian menjelaskan tentang permasalahan ini dengan rinci serta didalamnya terjadi berbagai perbedaan pendapat.
Sesungguhnya seorang pezina bisa jadi ia seorang lajang yang belum menikah atau telah menikah dengan pernikahan yan benar (menurut syariat) serta ia adalah seorang yang baligh dan berakal. Adapun seorang yang belum pernah menikah (lajang) maka hukuman baginya adalah 100 kali cambukan sebagaimana disebutkan didalam ayat ditambah dengan diasingkan dari negerinya selama setahun, demikianlah menurut jumhur ulama. Berbeda dengan Abu Hanifah yang berpendapat bahwa pengasingan ini dikembalikan kepada pendapat imam (penguasa). Jika dia berkehendak maka dia bisa mengasingkannya dan jika tidak berkehedak maka tidak diasingkan.
Dalil jumhur dalam hal ini adalah apa yang terdapat didalam “ash Shahihain” dari riwayat Zuhriy dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al Juhaniy radliallahu 'anhuma bahwa keduanya berkata; Ada seorang warga Arab datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: "Wahai Rasulullah, aku bersumpah atas nama Allah kepadamu, bahwa engkau tidak memutuskan perkara diantara kami melainkan dengan Kitab Allah. Lalu lawan yang tutur katanya lebih baik dari padanya berkata: "Dia benar, putuskan perkara diantara kami dengan Kitab Allah dan perkenankanlah untukku". Maka Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam besabda: "Katakan". Seorang warga Arab berkata: "Sesunguhnya anakku adalah buruh yang bekerja pada orang ini lalu dia berzina dengan istrinya maka aku diberitahu bahwa anakku harus dirajam.. Kemudian aku tebus anakku dengan seratus ekor kambing dan seorang budak wanita kemudian aku bertanya kepada ahli ilmu lalu mereka memberitahu aku bahwa atas anakku cukup dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun sedangkan untuk istri orang ini dirajam". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku akan putuskan buat kalian berdua dengan menggunakan Kitab Allah. Adapun seorang budak dan kambing seharusnya dikembalikan dan untuk anakmu dikenakan hukum cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun. Adapun kamu, wahai Unais, besok pagi datangilah istri orang ini. Jika dia mengaku maka rajamlah". Kemudian Unais mendatangi wanita itu dan dia mengakuinya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar wanita itu dirajam.
Didalam hadits ini terdapat dalil tentang pengasingan seorang pezina disertai cambukan 100 kali jika dia seorang yang belum menikah. Adapun jika dia seorang yang telah menikah maka dirajam.
Tentang rajam ini, Ibnu Katsir menyebutkan beberapa hadits Rasulullah saw, diantaranya apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Husyaim dari Az Zuhri dari 'Ubaidillah Bin 'Utbah Bin Mas'ud telah mengabarkan kepadaku Abdullah Bin Abbas telah menceritakan kepadaku Abdurrahman Bin 'Auf bahwa Umar Bin Al Khaththab berkhutbah di hadapan orang-orang dan dia (Abdurrahman) mendengarnya berkata; "Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang mengatakan apakah ada hukum rajam? Padahal di dalam kitabullah hanya ada hukum dera. Sungguh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melakukan hukum rajam dan kami pun melakukan hukum rajam setelah beliau, seandainya orang-orang tidak akan mengatakan atau berbicara, bahwa Umar menambah sesuatu dalam kitabullah yang bukan darinya, niscaya aku akan menetapkannya sebagaimana diturunkannya."
Sedangkan makna firman-Nya yang artinya : “dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah”) adalah didalam hukum Allah. Janganlah kalian merajam mereka berdua sementara kalian berbelas kasihan didalam syariat Allah dan tidak dilarang dalam hal ini ada tabiat belas kasihan akan tetapi janganlah hal itu menjadikan anda meninggalkan dari manjatuhkan hukuman terhadap mereka berdua, maka ini tidak dibolehkan.
Mujahid mengatakan tentang (..dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah) bahwa penegakan hukuman apabila sudah diangkat ke penguasa maka haruslah dilaksanakan dan jangan dihentikan, demikianlah riwayat dari Said bin Jubair, Atha bin Abi Rabah.
Didalam hadits disebutkan "Hendaklah kalian saling memaafkan dalam masalah hukuman had yang terjadi di antara kalian, sebab jika had telah sampai kepadaku maka wajib untuk dilaksanakan." Didalam hadits lain disebutkan "Satu had (hukuman) yang ditegakkan di bumi lebih baik bagi manusia dari pada mereka diguyur hujan empat puluh hari."…
Sedangkan firman-Nya yang artinya : “Jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat”) maknanya : lakukanlah perintah itu : tegakkanlah had (hukuman) terhadap orang yang berzina dan keraslah didalam memukul akan tetapi jangan menyakitkan sekali…. Didalam musnad disebutkan bahwa sebagian sahabat bertanya,” Wahai Rasulullah, saya hendak menyembelih kambing namun saya sangat menyayanginya. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Bagimu didalam (penyembelihan itu) pahala".
Firman-Nya yang artinya : “Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”) maknanya adalah terdapat pelajaran bagi kedua orang pezina itu jika dicambuk dihadapan orang banyak. Sesungguhnya ini merupakan bentuk pencegahan yang paling tepat karena didalamnya terdapat kecaman, cercaaan dan celaan jika dihadiri oleh banyak orang. Al Hasan al bashri mengatakan,”Maknanya adalah (disaksikan) secara terang-terangan..”
Kemudian tentang firman Allah di ayat ketiganya “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” Adalah berita dari Allah swt bahwa seorang lelaki pezina tidak boleh menggauli (menikah) kecuali dengan perempuan pezina atau wanita musyrik, yaitu tidaklah seorang yang menyetujui keinginan lelaki itu berzina kecuali seorang perempuan pezina maksiat juga atau seorang wanita musyrik yang tidak melihat bahwa hal itu diharamkan.
Demikian pula yang artinya : “dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”) yaitu lelaki pelaku maksiat dengan berzina atau lelaki musyrik yang meyakini bahwa zina tidaklah diharamkan…
Dan firman Allah swt yang artinya : “dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukminin”) yaitu menikahkan seorang yang bersih dari zina dengan seorang pelaku zina dari kalangan laki-laki…
Ibnu Katsir juga menyebutkan pendapat Imam Ahmad yang mengatakan bahwa tidak sah akad seorang lelaki yang bersih (dari zina) dengan seorang perempuan pezina hingga wanita itu bertaubat. Jika wanita itu bertaubat maka sah akad atasnya dan jika tidak maka tidak sah. Demikian pula tidaklah sah menikahkan seorang perempuan merdeka dan bersih (dari zina) dengan lelaki pezina hingga lelaki itu bertaubat dengan taubat yang sebenarnya, berdasarkan firman Allah swt :(Tafsit al Qur’an al Azhim juz VI hal 5 – 10) (baca : QS.- An Nuur 3)
Wallohu Ta'ala A'lam
Sumber: http://www.eramuslim.com
Manusia punya rencana, Alloh pula yang menentukan. Sebuah kalimat yang sudah tidak asing dan sering kita dengar, sebagai motifasi agar kita tidak larut ke dalam pesimisme. Ketika rencana mulai dirancang, usaha untuk menuju ke arahnya mulai berjalan, tiba-tiba Alloh Subhanallohu Wa Ta'ala berkehendak lain, rasa frustasi dan putus asa datang menyergap. Cinta yang telah dibangun sekian lama dalam maghligai rumah tangga yang suci harus kandas, hancur berkeping dihempas badai.
Rasa sayang dan cinta yang dulu tumbuh subur di dalam hati, seketika berubah benci, terhapus oleh rasa kecewa. Lembar demi lembar kertas diary terisi oleh cerita-cerita yang menggambarkan kekecewaan seorang wanita kepada seorang laki-laki yang teramat disanjungnya. "Aku tidak pernah menyangka, kenapa dirimu tega menghianati cinta kita. Padahal semua yang aku miliki telah aku curahkan. Lalu mengapa hanya untuk mengetes kesetiaanku dirimu tega melakukan perselingkuhan itu? Dengan perempuan itu, perempuan yang aku kenal baik. Ya Alloh...cobaan apa lagi yang akan kau berikan di saat aku berusaha mengenalkan ajaran-Mu kepada anak dan suamiku? Ya Sallam... rasanya aku tidak sanggup menerimanya, terlalu berat cobaan ini. Aku tidak bisa memaafkannya, memaafkan suami dan perempuan itu...Mereka bukan wanita dan laki-laki yang baik, suamiku menghianatiku dan perempuan itu menghianati suaminya. Aku benci mereka....Aku benci mereka...!" Begitulah salah satu cerita dalam lembaran buku diary seorang istri yang merasa kecewa akan perlakuan suaminya.
Namun ketika sang suami memohon maaf dengan berurai air mata dan mengatasnamakan perbuatannya karena khilaf dan seribu pembelaan atas kesalahan itu, rasa iba pun hadir. Rasa cinta yang masih ada, melupakan semua nestapa yang ada. Ditambah kesungguhan sang suami yang benar-benar menyesali perbuatannya. Cinta suci yang masih tersisa telah meluluhkan kebencian dan rasa sakit yang ada di dalam hat sang istrii. Buah hati yang yang masih memerlukan banyak perhatian dan bimbingan juga salah satu mengapa cinta yang hampir porak-poranda dapat bersatulagi di dalam ikatan suci "perkawinan".
Memang kebebasan bergaul yang kebabalasan sudah menjadi adat yang mendarah daging dalam sebagian kaum muslimin. Adalah satu musibah besar yang dapat berimplikasi sangat buruk dalam kehidupan dan keluarga. Karena itulah Islam memberikan batasan pergaulan antara lawan jenis dengan demikian indah dan kuatnya, sehingga kemungkinan muncul perselingkuhan, pacaran dengan cinta monyet serta perzinahan dapat dicegah dan diputus sejak awal. Ditambah lagi dengan hukuman keras bagi pezina baik yang belum pernah menikah maupun yang pernah menikah. Sayang masyarakat enggan menerapkannya sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan seperti ini.
Jika seorang suami atau istri masih mencintai pasangannya, mengapa dia harus melakukan perselingkunghan ini? Laki-laki/wanita yang baik dan normal, pastinya tidak akan berselingkuh dengan lelaki/wanita lain, sebab ia memiliki rasa malu. Bila ia telah selingkuh dengan lelaki/wanita lain, tentunya karena tidak adanya rasa malu dan kemungkinan berselingkuh lagi sangat besar sekali. Bagaimana tidak? Ia tidak puas dengan suami/istrinyanya yang ada dan telah merasakan keindahan semu selingkuhnya dengan WIL (Wanita Idaman lain)/PIL (Pria Idaman Lain). Padahal ancaman Alloh sangatlah pedih. Waiyyadzu billah
Alloh subhanallohu wa ta'ala berfirman:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٢﴾
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ ﴿٣﴾
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An Nuur : 2 – 3)
Tentang firman-Nya yang artinya : "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera" dijelaskan Ibnu Katsir bahwa didalam ayat ini terdapat hukum terhadap seorang pezina. Para ulama kemudian menjelaskan tentang permasalahan ini dengan rinci serta didalamnya terjadi berbagai perbedaan pendapat.
Sesungguhnya seorang pezina bisa jadi ia seorang lajang yang belum menikah atau telah menikah dengan pernikahan yan benar (menurut syariat) serta ia adalah seorang yang baligh dan berakal. Adapun seorang yang belum pernah menikah (lajang) maka hukuman baginya adalah 100 kali cambukan sebagaimana disebutkan didalam ayat ditambah dengan diasingkan dari negerinya selama setahun, demikianlah menurut jumhur ulama. Berbeda dengan Abu Hanifah yang berpendapat bahwa pengasingan ini dikembalikan kepada pendapat imam (penguasa). Jika dia berkehendak maka dia bisa mengasingkannya dan jika tidak berkehedak maka tidak diasingkan.
Dalil jumhur dalam hal ini adalah apa yang terdapat didalam “ash Shahihain” dari riwayat Zuhriy dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al Juhaniy radliallahu 'anhuma bahwa keduanya berkata; Ada seorang warga Arab datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: "Wahai Rasulullah, aku bersumpah atas nama Allah kepadamu, bahwa engkau tidak memutuskan perkara diantara kami melainkan dengan Kitab Allah. Lalu lawan yang tutur katanya lebih baik dari padanya berkata: "Dia benar, putuskan perkara diantara kami dengan Kitab Allah dan perkenankanlah untukku". Maka Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam besabda: "Katakan". Seorang warga Arab berkata: "Sesunguhnya anakku adalah buruh yang bekerja pada orang ini lalu dia berzina dengan istrinya maka aku diberitahu bahwa anakku harus dirajam.. Kemudian aku tebus anakku dengan seratus ekor kambing dan seorang budak wanita kemudian aku bertanya kepada ahli ilmu lalu mereka memberitahu aku bahwa atas anakku cukup dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun sedangkan untuk istri orang ini dirajam". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku akan putuskan buat kalian berdua dengan menggunakan Kitab Allah. Adapun seorang budak dan kambing seharusnya dikembalikan dan untuk anakmu dikenakan hukum cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun. Adapun kamu, wahai Unais, besok pagi datangilah istri orang ini. Jika dia mengaku maka rajamlah". Kemudian Unais mendatangi wanita itu dan dia mengakuinya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar wanita itu dirajam.
Didalam hadits ini terdapat dalil tentang pengasingan seorang pezina disertai cambukan 100 kali jika dia seorang yang belum menikah. Adapun jika dia seorang yang telah menikah maka dirajam.
Tentang rajam ini, Ibnu Katsir menyebutkan beberapa hadits Rasulullah saw, diantaranya apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Husyaim dari Az Zuhri dari 'Ubaidillah Bin 'Utbah Bin Mas'ud telah mengabarkan kepadaku Abdullah Bin Abbas telah menceritakan kepadaku Abdurrahman Bin 'Auf bahwa Umar Bin Al Khaththab berkhutbah di hadapan orang-orang dan dia (Abdurrahman) mendengarnya berkata; "Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang mengatakan apakah ada hukum rajam? Padahal di dalam kitabullah hanya ada hukum dera. Sungguh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melakukan hukum rajam dan kami pun melakukan hukum rajam setelah beliau, seandainya orang-orang tidak akan mengatakan atau berbicara, bahwa Umar menambah sesuatu dalam kitabullah yang bukan darinya, niscaya aku akan menetapkannya sebagaimana diturunkannya."
Sedangkan makna firman-Nya yang artinya : “dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah”) adalah didalam hukum Allah. Janganlah kalian merajam mereka berdua sementara kalian berbelas kasihan didalam syariat Allah dan tidak dilarang dalam hal ini ada tabiat belas kasihan akan tetapi janganlah hal itu menjadikan anda meninggalkan dari manjatuhkan hukuman terhadap mereka berdua, maka ini tidak dibolehkan.
Mujahid mengatakan tentang (..dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah) bahwa penegakan hukuman apabila sudah diangkat ke penguasa maka haruslah dilaksanakan dan jangan dihentikan, demikianlah riwayat dari Said bin Jubair, Atha bin Abi Rabah.
Didalam hadits disebutkan "Hendaklah kalian saling memaafkan dalam masalah hukuman had yang terjadi di antara kalian, sebab jika had telah sampai kepadaku maka wajib untuk dilaksanakan." Didalam hadits lain disebutkan "Satu had (hukuman) yang ditegakkan di bumi lebih baik bagi manusia dari pada mereka diguyur hujan empat puluh hari."…
Sedangkan firman-Nya yang artinya : “Jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat”) maknanya : lakukanlah perintah itu : tegakkanlah had (hukuman) terhadap orang yang berzina dan keraslah didalam memukul akan tetapi jangan menyakitkan sekali…. Didalam musnad disebutkan bahwa sebagian sahabat bertanya,” Wahai Rasulullah, saya hendak menyembelih kambing namun saya sangat menyayanginya. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Bagimu didalam (penyembelihan itu) pahala".
Firman-Nya yang artinya : “Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”) maknanya adalah terdapat pelajaran bagi kedua orang pezina itu jika dicambuk dihadapan orang banyak. Sesungguhnya ini merupakan bentuk pencegahan yang paling tepat karena didalamnya terdapat kecaman, cercaaan dan celaan jika dihadiri oleh banyak orang. Al Hasan al bashri mengatakan,”Maknanya adalah (disaksikan) secara terang-terangan..”
Kemudian tentang firman Allah di ayat ketiganya “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” Adalah berita dari Allah swt bahwa seorang lelaki pezina tidak boleh menggauli (menikah) kecuali dengan perempuan pezina atau wanita musyrik, yaitu tidaklah seorang yang menyetujui keinginan lelaki itu berzina kecuali seorang perempuan pezina maksiat juga atau seorang wanita musyrik yang tidak melihat bahwa hal itu diharamkan.
Demikian pula yang artinya : “dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”) yaitu lelaki pelaku maksiat dengan berzina atau lelaki musyrik yang meyakini bahwa zina tidaklah diharamkan…
Dan firman Allah swt yang artinya : “dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukminin”) yaitu menikahkan seorang yang bersih dari zina dengan seorang pelaku zina dari kalangan laki-laki…
Ibnu Katsir juga menyebutkan pendapat Imam Ahmad yang mengatakan bahwa tidak sah akad seorang lelaki yang bersih (dari zina) dengan seorang perempuan pezina hingga wanita itu bertaubat. Jika wanita itu bertaubat maka sah akad atasnya dan jika tidak maka tidak sah. Demikian pula tidaklah sah menikahkan seorang perempuan merdeka dan bersih (dari zina) dengan lelaki pezina hingga lelaki itu bertaubat dengan taubat yang sebenarnya, berdasarkan firman Allah swt :(Tafsit al Qur’an al Azhim juz VI hal 5 – 10) (baca : QS.- An Nuur 3)
Wallohu Ta'ala A'lam
Sumber: http://www.eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...