Minggu, 01 Mei 2011

All About Nikah

A Pengertian nikah
Kata nikah berasal dari bahasa arab نِكَاحٌ yang merupakan masdar atau kata asal dari kata kerja نَكَحَ , sinonimnya tazawaja kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Menurut bahasa, An-Nikah berarti adh-dhammu wattadaakhul ( الضم و التداخل ) yaitu bertindih dan memasukkan. Menurut al-Fara’ An-Nukh adalah sebutan dari kemaluan. Sedangkan al-Azhari berpendapat bahwa akar kata  nikah dalam ungkapan bahasa arab berarti hubungan badan. Dikatakan pula bahwa berpasangan juga merupakan salah satu dari pengertian nikah karena ia menjadi penyebab adanya hubungan badan. Selain itu al-Farisi juga berpendapat bahwa an-Nikah mempunyai beberapa arti sesuai dengan penggunaannya dalam kalilmat. Jika mereka mengatakan “si Fulan atau anaknya Fulan menikah” maka yang dimaksud adalah mengadakan akad.  Akan tetapi jika dikatakan bahwa ia menikahi isterinya, maka yang dimaksud adalah berhubungan badan.
Menurut istilah, nikah memiliki beberapa definisi diantaranya adalah :
الزَّوَاجُ شَرْعًا هُوَ عَقْدٌ وَ ضَعَهُ الشَّارِعُ لِيُقِيْدَ مِلْكَ اِسْتِمْتَاعِ الرَّجُلِ بِالْمَرْأَةِ وَ حِلَّ اسْتِمْتَاعِ الْمَرْأَةِ بِالرَّجُلِ
“Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”
Abu Yahya Zakariya al-Anshary mendefinisikan sebagai berikut :

النِكَاحُ شَرْعًا هُوَ عَقْدٌ يَتََضَمَّنُ إِبَاحَةَ وَطْئٍ بِلَفْظِ انْكَاحٍ أَوْ نَحْوِهِ
“Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau kata-kata yang semakna dengannya”
Menurut Zakiah Darajat nikah adalah:
عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إِبَاحَةَ وَطْئٍ بِلَفْظِ النِّكَاحِ أَوِ التَّزْوِيْجِ أَوْ مَعْنَا هَمَا
“Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau tazwij atau semakna dengannya”
Selain definisi-definisi di atas, ada definisi lain yang lebih luas. Definisi ini diberikan oleh Muhammad Abu Israh yang juga dikutip oleh Zakiah Darajat yang berbunyi:
عَقْدٌ يُفِيْدُ حَلَّ الْعُشْرَةِ بَيْنَ الرََّجُلِ وَ الْمَرْأَةِ وَ تَعَاوَُنُهُمَا وَيُحَدُّمَا لِكَيْهِمَا مِنْ حُقُوْقِ وَمَا عَلَيِْهِ مِنْ وَاجِبَاتٍِ
“Akad yang memberikan faedah hukukm kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”


Dari definisi terakhir di atas, pernikahan bukanlah hanya sebuah perjanjian agar dibolehkannya hubungan seksual antara pria dan wanita. Akan tetapi lebih dari itu, pernikahan juga menimbulkan sebuah hak dan kewajiban bagi suami-istri sehingga terjadi keseimbangan dalam suatu keluarga tersebut. Dengan begitu manusia jauh lebih terhormat dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain yang dengan seenaknya menyalurkan nafsu birahinya.

B. Hukum nikah
Segolongan fuqoha’ jumhur berpendapat bahwa hukum nikah itu sunnah. Golongan zhahiri berpendapat nikah itu wajib. Sedangkan para ulama’ Malikiyah muta’akhirin berpendapat nikah itu wajib bagi sebagaian orang, sunnah bagi sebagaian orang dan mubah bagi sebagaian orang lain tergantung pada kekhawatiran akan kesusahan dirinya masing-masing.Hal ini di tinjau berdasarkan kekhawatiran terhadap kesusahan atau kesulitan dirinya.
Perbedaan pendapat ini disebabkan permasalahan apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits berikut serta hadits-hadits lainnya yang berkenaan dengan masalah ini, apakah harus diartikan kepada wajib atau sunah atau mungkin mubah.  Ayat tersebut adalah (An nisa’ : 3) :
وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Sedangkan sabda nabi Muhammad Shalala Alaihi Wasalam, beliau pernah bersabda “Nikahlah kamu, perbanyaklah kamu, karena sesungguhnya dengan kamu, aku akan berlomba-lomba dengan umat yang lain pada hari kiamat” (H.R.Abdurrozaq).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa hukum nikah itu bisa berubah sesuai dengan keadaan pelakunya secara rinci hukum pernikahan adalah sebagai berikut :
1. Wajib. Nikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu dan nafsunya telah mendesak, serta takut terjerumus dalam lembah perzinaan. Menjauhkan diri dari perbuatan adalah wajib maka jalan yang terbaik adalah dengan menikah.
Imam Qurtuby berkata “Bujangan yang sudah mampu menikah dan takut dirinya dan agamanya, sedangkan untuk menyelamatkan diri tidak ada jalan lain, kecuali dengan pernikahan. Maka tidak ada penyelisihan pendapat tentang wajibnya ia menikah. Jika nafsunya telah mendesak, sedang ia tidak mampu menfakahi istrinya, maka Allah nanti akan melapangkan rizkinya”. Hal ini sebagaimana Firman Allah ta’ala :
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لاَيَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللهُ
“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya, sehingga Allah memberikan kemampuan mereka dengan karunia-Nya”.
Senada dengan pendapat ini adalah Ulama’ Malikiya yang mengatakan bahwa menikah itu wajib bagi orang yang menyukainya dan takut dirinya akan terjerumus kejurang perzinaan manakala ia tidak menikah, sedangkan berpuasa ia tidak sanggup.
Selanjutnya Melikiyah memberikan beberapa kritera tentang wajibnya menikah bagi seseorang adalah :
a. Apabila takut dirinya akan terjerumus ke dalam lembah perzinaan.
b. Untuk mengekangnya tidak mampu berpuasa, atau mampu berpuasa tetapi tidak bisa mengekang hawa nafsu
c. Tidak mampu menyatukan kekayaan umat manusia.
2. Sunah. Bagi orang yang mau menikah dan nafsunya kuat, tapi mampu mengendalikan diri dari perbuatan zina, maka hukumnya menikah baginya adalah sunah. Menikah baginya lebih utama dari pada beridiam diri menekuni ibadah, karena menjalani hidup sebagai pendeta (anti nikah) sama sekali tidak dibesarkan dalam Islam. Dalam hadits di sebutkan : “Menikahlah kalian, karena akau akan membanggakan banyaknya jumlah kalian pada umat-umat lain. Dan janganlah kalian seperti pendeta-pendeta Nasrani” Baik Ulama’ Hanafiyah maupun Hambaliyah, mereka sependapat bahwa menikah itu sunah bagi orang yang menyukainya, tetapi tidak takut terjerumus dalam lembah perzinaan. Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa menikah itu sunah bagi orang yang kenyukainya, tetapi menginginkan keturunan karena ia mampu melakukan kewajiban dengan mencari rizki yang halal serta mampu melakukan hubungan seksual. Sedangkan Ilama’ Syaji’iyah menganggap bahwa menikah itu sunah bagi orang yang melakukannya dengan niat untuk mendapatkan keterangan jiwa dan melanjutkan keturunan.
3. Haram. Bagi orang yang tidak menginginkannya karena tidak mampu member nafkah, baik nafkah lahir maupun nafkah batin kepada istrinya serta nafsunya tidak mendesak, atau dia mempunyai keyakinan bahwa apabila menikah ia akan keluar dari Islam, maka hukumnya menikah adalah haram.
4. Makruh.  Hukum menikah menjadi makruh bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu member nafkah kepada istrinya walaupun tidak merugikannya karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan suatu ibadah atau menuntut suatu ilmu.
5. Mubah. Bagi laki-laki yang tidak terdesak alasana-alasan yang mewajibkan segera nikah, atau alasan-alasan yang mewajibkan segera nikah, atau alasan-alasan yang menyebebkan ia harus nikah, maka hukumnya mubah. Ulama’ Hambali mengatakan bahwa mubah hukumnya bagi orang yang tidak mempunyai keinginan untuk menikah.

C. Tujuan Nikah
Tujuan pernikahan menurut agama Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia. Secara garis besarnya tujuan pernikahan ada 2, yaitu untuk memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama .
Tujuan pernikahan yang tersebut di atas apabila dilihat dari aspeknya, maka dapat dibagi dalam beberapa aspek yang diantaranya :
1.    Aspek personal
a.       Penyaluran kebutuhan biologis. Yaitu untuk memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
b.      Reproduksi generasi. Yaitu untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
تَزَوَّجُوْا فَإِنِّى مُكَاثِرٌبِكُمُ اْلأُ مَمُ يَوْمَ اْلِقيَاَمَةِ
“Nikahlah kamu, sesungguhnya aku menginginkan darimu umat yang banyak”
2. Aspek sosial
a. Rumah tangga yang baik sebagai fondasi masyarakat yang baik. Yaitu untuk membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
b. Membuat manusia kreatif. Pernikahan dapat menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
3. Aspek ritual
Yaitu untuk memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
4. Aspek moral
Sebagai pembeda manusia sebagai makhluk Allah yang bermoral dan menyalurkan libido seksualitasnya dari pada makhluk Allah yang lainnya.
5. Aspek cultural
Sebagai pembeda antara manusia yang beradab dengan manusia yang biadab, antara manusia primitif dan manusia modern. Manusia yang beradab dan modern memiliki aturan-aturan yang lebih baik daripada manusia primitif dan biadab.

D. Hikmah Nikah
Menikah adalah kebutuhan alamiah manusia, maka Islam sangat memperhatikan hal ini. Ada banyak hikmah yang terkandung dalam pernikahan ini. Berikut adalah penjelasannnya :
1.    Dapat menyalurkan naluri seksual dengan cara sah dan terpuji.
Bagi manusia, naluri tersebut sangat kuat dan keras serta menuntut adanya penyaluran yang baik. Jika tidak, dapat mengakibatkan kegoncangan dalam kehidupannya. Dengan perkawinan, kehidupan manusia menjadi segar dan tenteram serta terpelihara dari perbuatan keji dan rendah (QS. Ar-Ruum (30) : ayat 21).
2.    Memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat.
Sehingga dapat menjaga kelestarian hidup umat manusia. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisa' (4): ayat 1)
Allah menjadikan bagi kamu isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS. An-Nahl (16): ayat 72)
3. Naluri keibuan dan kebapakan akan saling melengkapi dalam kehidupan rumahtangga bersama anak-anak.
Hubungan itu akan menumbuhkan rasa kasih sayang, sikap jujur, dan keterbukaan, serta saling menghargai satu sama lain sehingga akan meningkatkan kualitas seorang manusia. (QS.30:21, 16:72).

4. Melahirkan organisasi (tim) dengan pembagian tugas/tanggungjawab tertentu, serta melatih kemampuan bekerjasama.
Tugas intern pengaturan rumahtangga termasuk memelihara dan mendidik anak yang umumnya menjadi tugas utama isteri dan tentunya harus bekerjasama dengan suami; mencari nafkah yang menjadi kewajiban suami dapat dibantu oleh istrinya; pengelolaan keuangan yang sebaiknya menjadi bagian dari isteri, namun dengan seijin suami dalam pembelanjaannya. Ini semua meningkatkan sikap disiplin, rajin, kerja keras, syukur, sabar, dan tawakal.

5. Terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturahmi antar keluarga, sehingga memupuk rasa sosial dan dapat membentuk masyarakat yang kuat serta bahagia

B. Hikmah Pernikahan
Sesungguhnya Allah menciptakan manusia untuk memakmurkan bumi dengan memperbanyak keturunan dalam keluarga. Islam menganjurkan pernikahan karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Hanya dengan menikahlah hubungan antara pria dan wanita menjadi syah .  Adapun pengaruh pernikahan bisa kita lihat dari beberapa hikmah yang terkandung di dalamnya, antara lain :
1) Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dank eras, yang menuntut jalan keluar. Bilamana jalan keluar itu tidak dapat memuaskannya, maka menimbulkan kegoncangan dan kekacauan sehingga banyak orang yang mengambil jalan pintas dengan melakukan perbuatan jahat. Menikah merupakan jalan yang paling baik untuk menyalurkan naluri seks secara alami dan biologis. Dengan nikah badan menjadi segar, jiwa menjadi tenang, mata dapat terpelihara dari melihat hal-hal yang maksiat, dan memiliki perasaan tenang menikmati hal-hal yang halal. Allah SWT berfirman :
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar Rum : 21)
2) Menikah adalah jalan yang terbaik untuk menjadikan anak-anak yang mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memlihara nasas yang sangat di perhatikan dalam Islam. Dalam Hadits di sebutkan : “Menikahlah dengan perempuan yang banyak kasih sayangnya lagi banyak melahirkan anak, agar nanti aku dapat membanggakan jumlahmu yang banyak di hadapan para Nabi di hari Kiamat” (H.R. Abu Daud dan Nasai)
3) Naluri kebapaan dan keibuan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak juga akan tumbuh perasaan ramah, cinta dan sayang yang menyempurnakannya kemanusiaan seseorang.
4) Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari pendapatan yang bisa memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.
5) Adanya pembagian tugas yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan lain bekerja di luar sesuai dengan batas dan tanggung jawab sebagai suami istri dalam menangani tugasnya masing-masing. Perempuan bertugas mengatur dan mengurusi rumah tangga memelihara dan mendidik anak-anak dan menyiapkan suasana yang sehat bagi suaminya untuk beristirahat guna melepaskan lelah dan memperoleh kesegaran badan kembali sementara itu suami bekerja dan berusaha mendapatkan harta dan belanja untuk keperluan rumah tangga.
6) Menimbulkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan kasih dan saying antar keluarga, serta memperkuat hubungan kemasyarakatan yang direstui Islam. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi akan merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia.







Referensi :
1.      Al-Qur'an dan terjemahnya
  1. Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'til Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-1, hal 178-179, 185-186, Darul Haq
  2. Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim : Ibnu Katsir
4.      Jami' Shahih : Imam Bukhari
5.      www.al-manhaj.or.id
6.      Fatawa Lajnah Daimah : Syaikh Shaleh Al-Fauzan dkk.
7.      Drs. Slamet Abidin, Drs. H. Aminudin “Fiqih Munakahat
8.      Abdurrahman dan Haris Abdullah. 1990. Tarjamah Bidayatul Mujtahid. Semarang: CV.Asy-Syifa’.
9.      Al-Asqalani, al-Imam al-Hafidz. ibnu Hajar. Buluhul Maram. Beirut: Daar al-Kutub al- Islami.Al-Hamdani. 2002. Risalah Nikah. (Jakarta: Pustaka Amani.
10.  Al-Jaziry, Abdul Rahman. 1990. Kitabul Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah. jilid IV. Beirut: Daar al-Kutb al-Ilmiyah.
11.  Ghozali, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta Timur: Prenada Media.
12.  Ibnu Rusyd. 1996. Bidayatul Mujtahid. jilid IV. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah.
13.  Rahmat, Hakim. 2000 . Hukum Perksawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
14.  Rasyid, Sulaiman. 2006. Fiqh Islam. Bandung: PT Sinar Baru Algensindo.
15.  Sabiq, Sayyid. 1980. Fikih Sunnah. jilid VI Bandung: PT. Al-Ma’arif.
16.  Taqiyuddin, al-Imam. 1994. Kifayatul Ahyar. Jilid II. Beirut: Daar al-Fikr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...