Oleh: Misno Mohamad Djahri
Menggali khazanah kearifan lokal Nusantara
tidak akan pernah ada habisnya, masyarakat Jawa khususnya di wilayah eks Karesidenan
Banyumas termasuk Cilacap memiliki satu ungkapan yang merupakan manifestasi
rasa syukur atas keadaan yang ada. Ketika mereka ditanya “Kepriwe Kabare? (Bagaiaman
kabarnya?), mereka akan menjawab “Alhamdulillah, Ya… kiye gering-gering”.
Apabila diterjemahkan kata-kata “Ya… kiye gering-gering” bermakna “Ya…
ini kurus-kurus”, tentu saja bukan bermakna mereka dalam keadaan kurus-kurus
karena istilah ini sudah umum digunakan masyarakat Banyumas, Cilacap dan
sekitarnya.
Apabila kita kaji lebih mendalam
maka kita akan menemukan bagaimana karakter masyarakat Jawa Cilacap yang
menggunakan istilah ini. Kehidupan yang keras di wilayah ini, udara panas,
musim tidak menentu hingga kekeringan yang sering sekali terjadi meniscayakan
mereka untuk selalu siap dengan segala keadaan yang paling buruk. Dalam keadaan
seperti ini harus ada pegangan hidup yang menjadi bekal dalam menghadapi
berbagai keadaan, termasuk kurangnya makanan karena gagal panen atau paceklik.
Pegangan hidup berupa keyakinan
mendalam akan adanya Gusti Allah sebagai Dzat yang mengatur alam semesta termanifestasi
dalam ungkapan-ungkapan keseharian yang merupakan puncak dari syukur kepadaNya.
Rasa syukur ini terungkapkan dalam berbagai keadaan baik dalam keadaan senang
ataupun susah, dalam masa panen ataupun paceklik, saat makanan melimpah
sehingga lemak di tubuh bertambah hingga masa serba kekurangan hingga badan gering-gering
(kurus kering).
“Ya Kiye gering-gering”
adalah ungkapan yang dulu selalu diucapkan oleh para orang tua sebagai
manifestasi rasa syukur kepada Allah Ta’ala akan segala kenikmatan dan cobaan
yang menimpa mereka. Walaupun badan kurus (gering) asal masih masih
mampu untuk sembahyang (shalat) dan beribadah kepada Allah Ta’ala
maka mereka selalu mengucapkan Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Rabb
semesta alam. Bersyukur adalah perintah dari Allah Ta’ala sebagaimana firmanNya:
فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا
لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ
“Maka ingatlah kamu semua kepada-Ku, Aku pun
akan ingat kepada kamu semua. Bersyukurlah kepada-Ku, serta janganlah kamu
semua itu ingkar kepada-Ku.” QS. al-Baqarah: 152.
Ketika seorang hamba bersyukur maka
akan ditambahkan kenikmatan tersebut, sebagaimana kalamNya:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ
شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
“Dan (ingatlah) kamu semua saat Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya
apabila dirimu bersyukur, niscaya Aku ini akan menambah (nikmat) kepada kamu
semua, tetapi apabila dirimu itu mengingkari (nikmat-Ku), maka pastinya azab-Ku
itu sangat berat.” QS. Ibrahim: 7.
Bisa jadi karena begitu seringnya ungkapan
gering-gering pada masa lalu, saat ini kemakmuran di wilayah ini sudah
semakin bertambah. Sudah sedikit orang yang kurus kering karena kelaparan,
bahkan sudah banyak orang yang gendut dan hidup dalam kemakmuran. Buah dari
syukur yang diyakini dalam hati, diungkapkan dengan lisan dan diamalkan dengan
anggota badan.
Seiring dengan mulai hilangnya
ungkapan ini, maka bolehlah kita juga mengambil local wisdom ini sebagai
satu warisan adiluhung serta mengambil intisari darinya yaitu dengan sentiasa
bersyukur kepada Allah Ta’ala atas segala kenikmatan dan apa jua yang ada pada
diri kita. Sehingga dari sekarang boleh lah apa bila ditanya “Kepriwe Kabare?
(Apa Kabarnya?), maka jawablah “Alhamdulillah, Ya… kiye lemu-lemu
(Alhamdulillah, Ya… ini gemuk-gemuk). Wallahu a'alam, 03012023.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...