Oleh: Misno bin Mohamad Djahri
Salah satu permasalahan yang
terjadi di masyarakat adalah perselisihan dan konflik antara pribumi dan
pendatang. Bukan hanya pada level lokal tetapi secara internasional masalah ini
terjadi di berbagai tempat dan kebudayaan. Tentu saja tempat terjadinya adalah
adanya perubahan di masyarakat di mana pada satu tempat tidak lagi bersifat
homogen pribumi yang mendiami tetapi heterogen dengan banyaknya pendatang. Perselisihan
atau konflik semakin terasa apabila terjadi jurang perbedaan di antara pribumi
dan pendatang, mulai dari agama dan kepercayaan, sosial, politik hingga masalah
ekonomi adalah sebab-sebab utama terjadinya konflik.
Perselisihan atau konflik bisa
terjadi secara diam-diam dan tidak kelihatan, namun seperti api dalam sekam
yang suatu saat akan meledak. Hal ini terlihat dari kurangnya komunikasi dan muamalah
antara pribumi dan pendatang. Hubungan di antara mereka cenderung terpisah
dan tidak terjadi akulturasi atau asimilasi. Masing-masing dengan agama,
budaya, politik dan ekonominya, kalaupun ada interaksi sebatas formalitas atau karena
keperluan sementara saja. Sejatinya fenomena ini sangat berbahaya apabila terus
dibiarkan, suatu saat akan menjadi permasalahan besar jika tidak dicari jalan
keluarnya. Contoh nyata dari fenomena ini adalah komunitas-komunitas Ikhwan pengajian
yang tinggal di suatu wilayah namun tidak membaur dengan masyarakat tempatan. Mungkin
seolah-olah tidak masalah, tapi faktanya menjadi api dalam sekam yang suatu
saat meledak atau menjadi konflik terpendam yang tidak bagus bagi sosial kemasyarakatan.
perselisihan atau konflik yang
kelihatan nyata adalah konflik sosial bernuansa sara yang terjadi di berbagai
penjuru dunia, di Indonesia kita mendengar dulu konflik antara suku Madura dan
Dayak, demikian pula orang-orang Asli Timor Leste dengan Indonesia. Hingga saat
ini beberapa orang di Papua ingin merdeka karena merasa “dijajah” oleh
pendatang yang bukan pribumi Papua. Konflik klasik yang tercatat dalam sejarah
tentu saja Suku Indian di Amerika dengan Pendatang dari Eropa, juga Suku
Aborigin di Australia dan pendatang Eropa. Semuanya berakar kepada perselisihan
antara pribumi dan pendatang. Walaupun dengan variasi permasalahan yang
berbeda-beda sesuai dengan akar masalahnya masing-masing.
Salah satu dari akar permasalahan
khususnya pada perselisihan yang terjadi antara pribumi dan pendatang di
masyarakat urban atau modern adalah sikap “angkuhnya pribumi dan sombongnya pendatang”.
Pribumi karena merasa di tanah sendiri dan wilayah yang diturunkan dari nenek
moyangnya maka dia merasa tinggi di atas para pendatang yang hanya menumpang,
pribumi cenderung angkuh dengan sikapnya dengan menganggap pendatang hanya
mengganggu kehidupan mereka dan merebut wilayah dan penghasilannya. Stigma ini
semakin meningkat ketika ekonomi pribumi di bawah para pendatang sehingga
mengancam keberadaan pribumi itu sendiri. Contoh mudahnya adalah suku Betawi
yang perlahan tapi pasti keluar dari wilayahnya sendiri di DKI Jakarta. Walaupun
tanpa konflik berarti tapi menjadi catatan sejarah tentang bagaimana sikap
pribumi terhadap para pendatang. Keangkuhan ini berbeda-beda sesuai dengan
sistem budaya, tingkat pendidikan dan perubahan sistem sosial, semakin terbuka
budaya suatu masyarakat maka semakin mudah mereka menerima kehadiran para
pendatang.
Para pendatang yang seringkali
tidak mau disebut pendatang suka seringkali bersikap sombong dengan keadaannya.
Merasa tidak memerlukan pribumi, sibuk dengan urusannya sendiri hingga
cenderung tidak peduli dengan masyarakat lokal di mana ia tinggal. Kesombongan pendatang
semakin terasa dengan tingkat pemahaman keagamaan, kesejahteraan ekonomi,
tingkat pendidikan dan level sosial yang dirasa lebih tinggi dari pribumi
sehingga menyepelekan pribumi. Pada beberapa fenomena yang terjadi, para
pendatang jarang sekali berbaur dengan pribumi dengan berbagai alasan yang
sejatinya adalah salah satu bentuk kesombongan.
Keangkuhan pribumi dan kesombongan
pendatang sama-sama tidak diperkenankan dalam Islam, karena keduanya adalah
sikap menolak kebenaran dari pihak lain dan menyepelekan manusia. sebagaimana
sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ
النَّاسِ
“Sombong adalah menolak kebenaran
dan meremehkan manusia.” HR. Muslim.
Keangkuhan pribumi terhadap
pendatang yang memandang sebelah mereka adalah salah satu bentuk kesombongan. Demikian
pula kesombongan pendatang karena menyepelekan pribumi juga kesombongan yang
nyata. Maka Islam memberikan solusi kepada pribumi dan pendatang agar selalu
berada dalam satu ikatan ukhuwah Islamiyah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّمَا
ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌۭ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang mukmin
adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. QS. al-Hujuraat: 10.
Pribumi dan pendatang yang
sama-sama muslim haruslah mengikatkan ukhuwah mereka dalam Islam yang membawa
kepada rahmat dari Allah Ta’ala. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah
ternyata banyak corak keislaman antara pribumi dan pendatang itu berbeda,
pribumi cenderung memiliki corak keislaman yang tradisional sedangkan pendatang
lebih banyak yang modernis atau reformis. Ini menjadi bibit konflik tersendiri
yang juga terjadi di masyarakat, maka bersikap lebih bijak sebagai pendatang
dan lebih terbuka bagi pribumi adalah salah satu jalan keluar. Karena dalam
Islam sendiri istilah pribumi dan pendatang bukanlah isu utama, hanya mereka
yang bertakwa itulah yang paling mulia. Wallahu a’lam, 04012023.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...