Oleh: Misno Mohamad Djahri
Kehidupan ini terus berputar, waktu
terus berlalu dan masa meninggalkan kita. Ianya menyisakan manusia dan seluruh
makhluk Allah Ta’ala yang mau tidak mau, suka tidak suka harus mengikuti kuasaNya.
Salah satu dari kuasa Allah Ta’ala adalah perubahan yang terjadi pada fisik
manusia, mulai dari bayi, anak-anak, remaja, pemuda, dewasa dan akhirnya
menjadi tua. Maka, perputaran ini memberikan inspirasi bagi manusia yang
memiliki hati nurani, belajar dari berbagai peristiwa dan akhirnya menemukan
berbagai hikmah dalam kehidupannya.
Salah satu dari hikmah kehidupan
yang boleh kita rasa adalah harusnya kita melihat ke “atas” kita, melihat pada
orang-orang yang berada di “atas” kita, yaitu orang-orang yang usianya jauh di
atas (manula yang bertakwa). Demikian juga kita harus melihat ke “atas”, yaitu
orang-orang yang ilmunya di atas kita, sehingga kita termotivasi untuk lebih
rajin dalam beramal kebajikan, belajar dan mendalami ilmuNya.
Hidup ini harus melihat ke atas,
yaitu melihat pada orang-orang yang usianya di atas kita bahkan yang sudah
berada di masa lanjut usia serta menggunakannya dalam ketakwaan. Lihatlah
bagaimana orang-orang yang sudah lanjut usia sudah menyiapkan diri untuk segera
meninggalkan dunia dan menghadap Allah Ta’ala. Peristiwa shalat dhuhur berjama’ah
tadi siang, di mana saya bermakmum dengan seorang yang sudah lanjut usia dengan
dua orang makmum lainnya yang juga sudah tua renta. Mereka semua adalah
orang-orang yang jauh berada di atas kita dari sisi usia. Lihatlah mereka,
belajarlah banyak dari mereka yang selalu melakukan keta’atan, karena masa senja
adalah masa di mana sudah saatnya untuk menyiapkan diri kapan saja, di mana
saja dan dalam keadaan bagaimanpun juga untuk segera menghadapNya.
Hidup ini juga harus melihat ke “atas”,
yaitu melihat pada orang-orang yang berada di atas kita dalam hal harta yang
digunakan di jalanNya dan ilmu pengetahuan yang diamalkan. Sudah selayaknya orang-orang
yang berada di atas kita dalam hal harta yang diinfakkan di jalanNya serta ilmu
yang dimiliki seseorang memotivasi kita untuk terus belajar dan mendalam ilmu
pengetahuan. Bahkan Allah Ta’ala telah mengangkat derajat orang-orang yang
berilmu di atas derajat orang biasa. Sebagaimana firmanNya:
يَرْفَعِ
ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍۢ ۚ
…niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. QS. al-Mujaadalah: 11.
Tingginya derajat orang yang
berilmu adalah karunia dari Allah Ta’ala yang kitab oleh untuk “iri” kepada
mereka. Tentu saja “iri” dalam makna positif yaitu ghibttah, di mana “iri”
namun tidak menginginkan sesuatu obyek iri itu hilang dari orang lain. Ini sebagaimana
sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ
رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ
آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh hasad (ghibtoh)
kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu
ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al
Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” HR. Bukhari dan
Muslim.
Maka “hasad” dan iri kepada
orang yang memiliki harta dan menggunakannya di jalan Allah Ta’ala. Juga boleh
hasad kepada orang yang berilmu karena menjadi motivasi bagi kita untuk dapat
mencapai derajat orang berilmu tersebut.
Sedangkan hal yang tidak
diperbolehkan adalah hidup dengan selalu melihat ke atas, yaitu hanya melihat
ke atas orang-orang yang memiliki harta tanpa melihat apakah harta tersebut
digunakan untuk kebajikan atau tidak. Demikian pula tidak diperbolehkan dalam
kehidupan ini melihat ke atas, yaitu orang-orang yang diberikan kenikmatan
dunia, rupa yang menawan, jabatan yang tinggi dan anugerah Allah ta’ala
lainnya.
Kebolehan melihat ke atas kepada
orang yang sudah lanjut usia dalam ketakwaan, pemilik harta yang menginfakkan
harta di jalan Allah Ta’ala dan orang-orang yang diberikan ilmu oleh Allah Ta’ala
adalah ghibtah, yaitu menginginkan agar dapat seperti mereka dalam
ketakwaan kepada Allah Ta’ala dan tetap berfikiran bahwa kenikmatan tersebut
tetap ada pada mereka.
Semoga Allah Ta’ala memberikan
hidayah serta inayahNya, sehingga dalam kehidupan kita selalu melihat ke atas
orang-orang yang berada di dalam ketakwaan dan menggunakan anugerah yang ada di
jalanNya. Wallahu a’lam, 06012023.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...