Oleh: Misno bin Mohamad Djahri
Agama sejatinya memberikan pedoman
dan arah bagi umat manusia untuk berlaku hanif (lurus) dalam
kehidupannya. Manfaat yang paling kentara dari agama adalah khusyu’ dalam
makna damai, tenteram dan nyaman dalam menjalani kehidupan. Namun, banyak juga
orang yang merasa khusyu’ dalam
ibadah dan kehidupannya padahal berada dalam kebelumtentubenaran di mana ia
merasa nyaman dengan ibadah yang dilakukan padahal belum tentu selaras dengan
kehendak ar-Rahman. Apa hal?
Bukan untuk men-judge atau
menghakimi ketika seseorang yang beribadah dan beramal tidak selaras denga napa
yang telah ditetapkan al-Qur’an dan al-Sunnah namun merasa nyaman. Hal ini
banyak sekali kita perhatikan, bagaimana seseorang yang beribadah melakukan
kebajikan atau dalam kehidupan yang merasa nyaman tanpa mencoba berfikir ulang tentang
ukuran kebenaran yang telah ditetapkan dalam Islam. Merujuk pada firman Allah
Ta’ala:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ
مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍۢ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌۭ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. Qs. al-Nisaa: 59.
Merujuk pada ayat ini maka standar
kekhusyu’an dalam beribadah, beragama dan menjalani kehidupan yang nyaman di
dunia adalah dengan taat kepada Allah Ta'ala, rasulNya dan ulil amri di
anatar kita. jika ada perbedaan pendapat maka kita kembalikan kepada al-Qur’an
dan al-Sunnah. Inila ukuran utama untuk menakar kekhusyu’an dan kenyamanan
seseorang dalam beragama dan menjalani kehidupan di dunia.
Banyak orang di dunia ini yang juga
merasa nyaman dengan berbagai agama yang dipeluknya, padahal ini dibantah Allah
Ta’ala dalam firmanNya:
وَمَن
يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَٰمِ دِينًۭا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ
مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
Barang siapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. QS. Ali Imran: 85.
Maka, apabila kita lihat ada
manusia yang merasa nyaman, khusyu’ dan damai dalam kepercayaannya terbantahkan
dengan ayat ini karena semuanya tertolak kecuali Islam. Ini adalah keyakinan mendasar
yang harus ada pada diri umat Islam, bukan eksklusif dan tertutup tetapi keyakinan
yang harus diimani oleh setiap muslim.
Demikian pula apabila kita lihat
seorang muslim yang melaksanakan sebuah amalan akan tetapi tidak ada syariahnya
dalam Islam, maka berlaku sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam yang
mulia:
عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ
عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ
رَدٌّ رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم [ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْه ِأَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ ]
Dari Ibunda kaum mukminin, Ummu
Abdillah Aisyah –semoga Allah meridhainya- beliau berkata: Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu
hal yang baru dalam perkara kami ini yang tidak ada (perintahnya dari kami)
maka tertolak. HR. alBukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim: Barangsiapa yang
beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak.
Kekhusyu’an dalam shalat sudah
semestinya merujuk pada syariah yang telah ditetapkan Allah Ta’ala dan
rasulNya, khususnya terkait dengan ibadah yang harus ada contohnya dari Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, sebagaimana dalam sebuah kaidah
disebutkan:
الأصل في العبادات التحريم
Hukum asal ibadah adalah haram
(sampai adanya dalil).
Ibnu Hajar al-Astqalani
menjelaskan:
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf
(diam sampai datang dalil).”
Pendapat ini menunjukkan bahwa jika
tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Beliau juga
menjelaskan dalam bagian lainnya:
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة
إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari
tawqif (adanya dalil)”
Kaidah yang sama dijelaskan oleh
Ibnu Taimiyah secara panjang lebar:
إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ
التَّوْقِيفُ فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى . وَإِلَّا
دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ
مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } . وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ فَلَا
يَحْظُرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ :
{ قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ
حَرَامًا وَحَلَالًا } وَلِهَذَا ذَمَّ اللَّهُ الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ شَرَعُوا
مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَحَرَّمُوا مَا لَمْ يُحَرِّمْهُ
“Hukum asal ibadah adalah tawqifiyah
(dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada
perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang
artinya), “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21). Sedangkan
perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidaklah ada
larangan untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. Jika tidak, maka
termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku
tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya
haram dan (sebagiannya) halal” (QS. Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah mencela
orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah dan
mengharamkan yang tidak diharamkan.
Merujuk pada penjelasan tersebut
maka kekhusyu’an yang dirasakan oleh seseorang atau nampak pada diri seseorang
yang melaksanakan amalan ibadah dan ketaatan hendaknya ditimbang dengan ukuran
yang benar yaitu al-Qur’an, al-Sunnah dan pendapat mu’tabar dan tsiqah (terkenal
dan kuat) dari para ulama Islam. Jangan kita terjebak pada amalan yang belum
tentu kebenarannya apalagi terjebak pada kekhusyu’an dakam kebelumtentukebenerannya.
Maka, terus belajar dan memahami Islam itulah yang utama dilakukan. Wallahu a’alam,
Ahad 29012023.
MasyaAllah terimakasih ilmunya pak, pak ada materi tentang fiqih muamalah? boleh di share juga pak. hatur nuhun semoga Allah membalas dengan berlipat ganda
BalasHapus